Istilah “Maulid” bagi kalangan Muslim Indonesia tidaklah asing.
Secara etimologi, istilah “Maulid” berasal dari bahasa Arab –Walada Yalidu
Wiladan– yang berarti kelahiran.
Kata ini biasanya disandingkan atau
dikaitkan dengan Nabi Muhammad SAW.

Secara historis Sosiologis tanggal kelahiran Rosulullah tidak diketahui
secara pasti. Bahkan, sebagian ahli sejarah di masa kini yang mengadakan
penelitian menyatakan bahwa tanggal kelahiran Nabi Muhammad 9
Rabi’ul Awal, bukan 12 Rabi’ul Awal.

Setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah, di seluruh
dunia yang berpenduduk mayoritas Muslim diperingati Maulid nabi. Yang
menarik justru Arab Saudi adalah satu-satunya negara dengan penduduk
mayoritas Muslim yang tidak menjadikan Maulid sebagai hari libur resmi.

Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam beberapa waktu setelah Nabi Muhammad wafat.

Peringatan tersebut bagi umat muslim adalah penghormatan dan
pengingatan kebesaran dan keteladanan Nabi Muhammad dengan berbagai bentuk kegiatan budaya, ritual dan keagaamaan.

SEJARAH MAULID NABI

Menurut sejarah ada dua pendapat yang menengarai awal munculnya
tradisi Maulid. Pertama, tradisi Maulid pertama kali diadakan oleh khalifah
Mu’iz li Dinillah, salah seorang khalifah dinasti Fathimiyyah di Mesir yang
hidup pada tahun 341Hijriyah. Kemudian, perayaan Maulid dilarang oleh Al-Afdhal bin Amir al-Juyusy dan kembali marak pada masa Amir li Ahkamillah
tahun 524 H.

Kedua, Maulid diadakan oleh khalifah Mudhaffar Abu Said pada tahun 630 H yang mengadakan acara Maulid besar-besaran. Saat itu, Mudhaffar
sedang berpikir tentang cara bagaimana negerinya bisa selamat dari kekejaman Temujin yang dikenal dengan nama Jengiz Khan (1167-1227 M.) dari Mongol. Jengiz Khan, seorang raja Mongol yang naik tahta ketika berusia 13 tahun dan mampu mengadakan konfederasi tokoh-tokoh agama,
berambisi menguasai dunia.

Untuk menghadapi ancaman Jengiz Khan itu Mudhaffar mengadakan acara Maulid. Tidak tanggung-tanggung, dia
mengadakan acara Maulid selama 7 hari 7 malam. Dalam acara Maulid
itu ada 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 keju dan 30.000 piring makanan. Acara ini menghabiskan 300.000 dinar uang emas.

Kemudian, dalam acara itu Mudhaffar mengundang para orator untuk menghidupkan nadi heroisme Muslimin. Hasilnya, semangat heroisme Muslimin saat itu dapat dikobarkan dan siap menjadi benteng kokoh Islam.

Lalu, budaya ini dijadikan sebuah tradisi hingga saat ini. Dibawa oleh para ulama’ dan habaib dari Yaman dan lain sebagainya ke nusantara.

Dikutip dari jurnal Peringatan Maulid Nabi (Tinjauan Sejarah dan Tradisinya di Indonesia) oleh Moh. Yunus
Editor : M. Hadiri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *